Rabu, 12 Desember 2007

Percayakan Pada Sang Raja

Ketetapan akhir skenario perjuangan sepenuhnya hak Allah, tapi kita punya peluang untuk membujukNya. Catatannya, sudah sempurnakah amalan amanah kita?!!

Perjuangan yang terbentang di depan mata kita hari ini, substansinya sama dengan masa para sahabat. Kita semua disatukanoleh Allahdalam kafilah besar penyeru Dinullah. Inilah anugerah yang hanya diberikan kepada ummat Rasulullah Muhammad saw, ”Kamu sekalian adalah umat yang terbaik, menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaranan dan beriman kepada Allah.”, (QS.3:110).
Menyadari hal tersebut seharusnya membawa kita kepada pemahaman yang menyeluruh tentang strategi perjuangan, syarat kemenangan, penyebab kekalahan dan penerimaan ketetapan Allah SWT. Semuanya prasyarat mutlak mencapai prestasi yang pernah dicapai oleh lapisan terdepan kafilah perkasa dakwah. Ini adlaah penegasan bahwa campur tangan Allah saat itu sama dengan campur tangan Allah saat ini dalam bentuk yang berbeda.

Kita berjalan dalam koridor pasukan Badar. Kita memiliki kecemasan pasukan Uhud. Akan tetapi ketetapan akhir telah berlaku bagi mereka, sedangkan kita belum. Di sinilah komitmen kita diuji, sekaligus kesempatan membujuk Allah Sang Perkasa.

Ingatlah ketika rasa kantuk hadir, disusul hujan yagn menyegarkan stamina. Lalu seribu malaikat di bawah komando Jibril as. mengepung tidak saja raga para kuffar dan musuh-musuh dakwah, melainkan juga ruh-ruh mereka. Denganya Allah berikan kegentaran dan kegelisahan. Lalu lantanglah teriakan Allahu Akbar menggapai setiap sudut-sudut bumi. Tegaklah Islam ini menumbangkan kebodohan dan kesombongan manusia. Ini ketetapan akhir yang selalu menjadi rahasia Allah Yang Maha Perkasa.

Masa beramal dan penantian ketetapan akhir Allah SWT kini, menuntut kita untuk juga mengingat masa beramal dan penantian akhir prajurit Badar dan Uhud. Mereka sempurnakan amal. Mereka sempurnakan ukhuwah. Mereka tegakkan ketaatan kepada Rasulullah dan para Qiyadah. Mereka bersatu mengusung keutuhan barisan perjuangan. Dan mereka... sebagaimana yang ditakutkan oleh Umar ra. Menjauhkan diri sekuat tenaga dari bermaksiat kepada Allah.

Itulah mereka dan bagaimanakah kita. Inilah masa ujian. Inilah masa membujuk yang mendebarkan itu. Ini masa pembuktian kelayakan kita berhumpun dalam kafilah para pejuang. Dan tentu saja ini masa berlatih kepasrahan akan apapun ketetapan Allah. Akankah kantuk, hujan, dan pasukan perang malaikat, atau dalam bentuk lain yang Allah tetapkan, juga menghampiri kita. Kita hanya bisa terus beramal dan tetap berharap. Yang jelas, kitabisa mengukur, sudah layakkah kita menjadi pasukan yang diberikan kemenangan oleh Allah SWT, atau masih ada serpihan kealpaan yang membatasi antara kita dengan rahmat kemenangan Allah. Hanya kita yang dapat menjawab. Karena itu... kepada para jasad yang ruh Badar dan Uhud bergejolak di dalamnya hari ini, bergegaslah membujuk Allah, dan persiapkanlah lantunan kemenangan. Insya Allah, ketetapan akhir itu adalah berita gembira bagi kita semua, ALLAHU AKHBAR WALILLAHILLHAMD.
Wallahu’alam.

Selasa, 11 Desember 2007

Bait Sejarah yang Gundah

Apakah yang tersisa dari semua ‘kemenangan’ politik ini? Mungkin berbeda penyikapan ketika orang lain mengalaminya. Yang jelas bagi kita, bagian dari kafilah perjuangan ini, satu kata menjadi semakin berat AMANAH.

Rangkaian kisah yang kita toreh bersama di atas kertas sejarah bangsa ini, menjiplak satu fase dalam bab kebangkitan dakwah. ”Dan ingatlah ketika jumlah kalian sedikit...” Seperti baru kemarin perasaan was-was itu menggentarkan kita. Jumlah yang sedikit, membuat kita sangat preventif terhadap keterbukaan. Tidak jarang sandal pun dimasukkan ke dalam ruangan pertemuan kita, hanya supaya pertemuan tidak terlalu mencolok. Lalu ketika pulang pun kita berjalan satu-satu.

Akan tetapi lihatlah hari ini. ”Maka kami kuatkan kamu, dan Kami berikan pertolongan dari sisi Kami, Kami berikan rezki dari yang baik-baik, agar kalian bersyukur”. Dakwah ini terbuka lebar. Sinarnya cerah seterang matahari. Setiap orang merasakan sentuhannya. Semakin banyak orang terpesona mengikutinya. Inilah kekuatan Allah, inilah pertolonganNya. Kemudian kita yakini, rezki Allah akan datang berlimpah-limpah.

Lalu pada saat itulah Allah tegaskan seruanNya, ”Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan RasulNya”. Kecemasan itu pun disampaikan. Karena Allah Maha Tahu, kecenderungan kita setelah kemenangan adalah berkhianat. Perlahan-lahan ketsiqohan kita kepada sesama ikhwah dan dakwah melemah. Pudarlah ukhuwah, bahkan takaful dan ta’awun hanya slogan yang kehilangan makna. Ini kekhawatiran yang besar, karena kita menyadari semua kealpaan ini.

”Ketahuilah, sesungguhnya harta kekayaan dan anak-anakmu adalah ujian, adalah fitnah”. Karena pemikiran untuk mencukupi diri, memanfaatkan jaringan yang kian terbuka, untuk kemapanan keluarga terutama anak-anak kita, semakin kental. Bahkan diantara ikhwah, pandangan yang ada bukan lagi ukhuwah, melainkan tatapan balas jasa, ’karena kerja keras kamilah antum ada di sana’. Na’udzubillah.

Cukuplah! Kekhawatiran ini kita tuntaskan saja. Jawab saja dengan amal. Bukankah ada ummat yang harus kita utamakan. Ada dakwah yang semakin ketat menyaring kita. Dan bagi para pencinta surga, kemenangan ini justru tidak bernilai apa-apa, ”Dan sesunggunya Allah di sisi kita, adalah ganjaran yang besar”.

Sisi lainnya bagi kita tidak lebih dari pembuktian. Kitalah para pemuda, kitalah pencinta amal. Kita menghabiskan semua waktu kita hanya untuk sebuah keyakinan, kita telah menunaikan amal amanah kita. Selain itu tidak. Dan kepada seluruh masyarakat, terima kasih atas dukungan dan kepercayaannya. Do’akan kami agar tetap istiqomah.
Wallahu’alam.

Senin, 10 Desember 2007

Setumpuk Tulang Dalam Sekantong Daging

Berasal dari sesuatu yang kotor. Keluar dari liang kotoran.Kemana-mana menggendong kotoran. Dan akhirnya matipun menjadi kotoran. Namun sering kali kita melupakannya. Justru kerapkali kita merasa mulia. Kecuali jelas parameter kemuliaan itu. Jika tidak, kita hanyalah tulang dalam sekantong daging. Bagaimana mungkin kita menjadi sombong.

Memaknai hidup hanya diberi satu kesempatan. Tidak ada yang kedua. Desah nafas menjadi pembatasnya. Di sini, dalam kehidupan dunia ini, setelah itu tertutuplah pencarian makna. Tepat ketika nafas ditiupkan ke dalam tulang berbalut daging, dimulailah proses pemaknaan. Kemudian ia hadir ke dunia. Dipersiapkan semua bekalan dirinya. Diberikan kebebasan memilih, menemani fitrahnya yang dekat kepada ketaqwaan dan kefujuran. Lalu dimulailah perhitungan.

Bergerak, menjalani kehidupan. Diceritakan masa lalu, dikabarkan hari esok. Dipentaskan tauladan, baik kemuliaan maupun kehinaan. Berlalu melalui persimpangan-persimpangan kehidupan. Memaksa diri untuk memilih. Berdatangan, satu persatu teman perjalanan. Sebagian menyadarkan, sebagian melenakan. Kadang tiba kesadaran, namun tidak jarang bersama kealpaan.

Pada satu terminal kehidupan, melekatlah identitas. Pencirian kini terbatas pada status yang melekat. Siapa, apa, apanya siapa. Lalu kepercayaan diri bergantung pada komentar, perkataan, dan kepercayaan orang lain. Saat inilah ujian nilai menjadi berat. Akankah kemuliaan menjadi pilihan. Semata menjadikan Sang Perkasa sebagai hakim. Ataukah tergadaikan kebebasan, karena takut kata orang, karena tidak sederajat, karena beban status. Lalu merasa diri tinggi, merasa lebih, dan merasa wibawa. Kemudian hakikat digadaikan, imitasi disematkan. Lalu tertipu kemuliaan.

Perlahan semangat temaram. Kantung daging melemah, belulang pun renta. Satu persatu keperkasaan dicabut. Segalanya menjadi semakin semu. Hanya meninggalkan cerita, dulu ia adalah ini, sebagai ini, menjadi ini, menutup satu persatu jatah nafas yang ada. Saat itu kebanggaan semakin abstrak. Hanya cerita lalu. Sementara perhitungan nilai diri justru semakin dekat.

Lalu desah nafas sampai pada titik akhir. Kembalilah kelemahan. Kini teronggok tak berdaya, tidak lebih dari sekedar tulang berbalut daging. Berakhir kebanggaan, berakhir keperkasaan, berakhir kemuliaan status. Selebihnya hanya kisah yang dikenang. Namun apapun itu, ada perhitungan lain yang menanti. Pengadilan yang menyadarkan, batapa cepatnya waktu berlalu, betapa sedikitnya persiapan, betapa banyaknya kealpaan, betapa bodohnya keputusan. Sadar telah tertipu, sadar tak bisa berulang, sadar akan hakikat yang sebenarnya akan berlangsung. Namun semua sudah terlanjur.

Lalu apakah kita harus mengulang kesalahan yang sama. Menjadi korban kemuliaan semu. Kecuali jelas parameter kemuliaan itu. Jika tidak, kita hanyalah tulang dalam sekantong daging.Bagaimana mungkin kita menjadi sombong. “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26-27). Menyeru jiwa yang lalai, menyeru hati yang gulita, menyeru sukma yang terlena. Semoga kita tersadarkan. Amin!!!
Wallahu’alam bish showwab.